Selamat Datang

Dalam banyak kisah yang dibuat para pembuat film, sering ada dua wajah yang menggambarkan Polisi, yaitu Polisi Baik dan Polisi buruk. Polisi baik adalah mereka yang digambarkan bisa tampil dalam perannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi buruk adalah mereka yang digambarkan tampil dalam perilaku menakutkan, bersikap mentang-mentang dan mata duitan (Akhlis Suryapati, Wartawan/ Seniman). figur Polisi yang diinginkan tentunya adalah Polisi Baik, sosok Polisi yang selalu menjadi impian dan harapan oleh semua orang. Melalui blog ini ITWASDA POLDA KALIMANTAN SELATAN menyajikan kumpulan kisah humanis Kepolisian dari berbagai sumber yang bisa menjadi teladan bagi Kepolisian Sendiri maupun masyarakat.

Kau Mau Kutilang

Suatu hari, Kosim berangkat dengan mengendarai sepeda motor untuk berburu burung. Di tengah perjalanan Kosim bertemu sama Pak Polisi, kemudian Polisi itu menyuruh Kosim berhenti.
Polisi : ”Mana Sim?”
Kosim : ”Cari burung Pak!”
Polisi : ”Mana Sim?”
Kosim : ”Cari burung, Pak...!!”
Polisi (mulai kesal) : ” Mana Siiim....”
Kosim : ”Cari burung Paak...!”
Polisi (marah) : ”Kau mau kutilang”
Kosim : ”Kalau ada, Perkutut Pak...!!”

Dasar Polisi...!


Alkisah, sebuah keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Berbagai upaya telah dilakukan sang ayah untuk meningkatkan taraf hidup, namun selalu gagal. Doapun selalu dipanjatkan setiap malam namun rezeki belum kunjung datang.

Dalam keputusasaan, akhirnya ia menulis sepucuk surat berisi permohonan agar dirinya diberi rezeki berupa uang sebesar Rp 200 ribu untuk membayar SPP anaknya dan beras bagi keluarganya. Surat itu dimasukkan ke dalam amplop. Pada sampul bagian depan ia tuliskan alamat: kepada Tuhan di langit, kemudian dimasukkan ke kotak surat.

Keesokan hari, tukang pos datang, melihat alamat yang hendak dituju, ia bingung mau dikirim ke mana. Dalam kebingungan tiba-tiba ia bertemu dengan seorang polisi yang sedang berpatroli,” Pak Polisi, saya bingung mengantarkan surat ini. Bisakah bapak bantu?”

Akhirnya Polisi itu membuka surat. Setelah dibaca, ia berkata kepada tukang pos,”Surat ini saya bawa, nanti saya urus dan saya sampaikan kepada pengirimnya.”

Saat tukang pos pergi, sang Polisi membuka dompetnya. ia hanya mendapati uang sejumlah Rp. 150 ribu,”Waduh, Cuma ada Rp. 150 ribu, bagaimana untuk makan siangku nanti...” hatinya membatin. Namun karena ia memang berhati baik, dia pun berniat memberikan seluruh uang yang ada di dompetnya itu kepada si pengirim surat. Dia yakin, si pembuat surat pasti sedang dalam kesusahan yang amat sangat. Seluruh uang ia masukkan ke dalam amplop balasan surat itu. Berikutnya, ia bergegas menuju alamat si pengirim.

Saat tiba pada alamat yang dituju, pintupun dibuka oleh seorang anak. ”Bapak ada?” tanya sang Polisi. ”Bapak sedang shalat dan biasanya dilanjutkan dengan berdoa cukup lama, Pak.” jawab si anak.

”Baik. Karena saya masih ada tugas lain, tolong berikan surat ini kepada bapakmu ya... ” Pak Polisi pun bergegas pergi. Usai sang ayah berdoa, si anak memberikan amplop itu. Betapa terkejutnya ia kala amplop itu dibuka ia dapati uang sebanyak Rp. 150 ribu.

”Halim!....” panggilnya pada si anak, ”Siapa yang mengantar surat ini tadi?”
”Tidak tahu namanya, Yah. Cuma tadi bapak itu ke sini pakai seragam Polisi.”

”Aaahhh... Dasar Polisi! Dasar Polisi!” sang ayah menggerutu, ”Permohonanku kepada Tuhan kan Rp. 200 ribu. Ini, kok Cuma tinggal Rp. 150 ribu? Dasar Polisi, masih suka pungli, bahkan kepada orang yang jelas-jelas susah sepertiku. Dasar Polisi! Dasar Polisi!”

Ada hikmah menarik yang dapat dipetik dari cerita ini. Terkadang citra negatif Polisi yang terlanjur melekat dari jaman dulu memang menjadi tembok yang menghalangi pandangan banyak orang terhadap mereka hari ini. Sehingga kadang orang yang berbuat baik belum tentu dianggap baik oleh yang tidak mengetahuinya.

Percayalah masih banyak Polisi yang baik di negeri ini. Dan semoga ke depan Polisi bisa menunjukkan profesionalitasnya dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan ketertiban masyarakat sehingga masyarakat pun dapat menyampaikan keluh kesah dan kepercayaannya kepada bapak dan ibu yang berprofesi sebagai Polisi.


Sumber :
Majalah Machdum Sakti
Nomor 6 Tahun XIV – Juni 2010

Oleh:Taufik
Peminat Masalah Kepolisian
Tinggal di Banda Aceh

Pengakuan Polisi di Bulan Ramadhan


Bulan Ramadhan bulan penuh pengampunan dan makna kasih sayang. Tak mudah mendapatkan keberkahan di bulan suci ini. Sebuah kesucian hati dikala kita sebulan penuh menjaga hawa nafsu. Begitu yang dilakukan Polisi lalu lintas (Polantas) satu ini. Sebut saja Sersan Suyono.

Baginya menjadi polisi sebenarnya bukan cita-citanya. Namun apa daya, kebutuhan ekonomi keluarga yang akhirnya memilih untuk mengabdi pada negara. Sudah tujuh tahun ia dinas di kepolisian. Sempat ditugaskan berjaga-jaga menangani GAM di Aceh. Kini ia harus bertugas sebagai pengatur lalu lintas (Polantas). Ini pun sekali lagi bukan pilihannya.

Bagi kebanyakan polisi tugas di jalan adalah kerja berjuta suka. Dalam sehari Rp 500 ribu hingga Rp 1.000. 000 dapat masuk dalam kocek celana. Lain hal dengan polisi muda ini. Untuk mengambil uang tilang saja. Suyono harus mengerutkan dahi.

“Kenapa sih, ketika pengguna jalan bersalah selalu menyisipkan uang kepada polisi. Padahal belum tentu kami mau,” aku pria berumur 30 tahun ini. “Hari ini saya baru saja menghadap atasan untuk berharap dapat pindah tugas di bagian lain, tapi jawabnya justru malah cemooh, ”ucapnya. Menghadapi atasan bukan sekali ini saja.“ Ini sudah ketiga kalinya pak, ”ceritanya kembali.

Ironisnya ketika surat tilang terkumpul, seharusnya Ia diberikan reward sebesar Rp 2500, - hingga Rp 10. 000 (tergantung kendaraannya). “Tapi sudah 7 tahun bekerja, saya tidak pernah mendapatkan, ”ucapnya pilu. Suyono merasa terpukul dengan penderitaannya.

Sebagai ganti upaya sampingan ia sendiri selalu mengeluarkan jurus kemahirannya dengan memudahkan jasa pembuatan surat-surat kendaraaan. Sempat ia mendapatkan hasil uang tilang. Namun apa yang terjadi? Ia dan isteri merasa kebingungan. Lantas Ia lari ke sebuah masjid dan menanyakan kepada seorang ustadz. Tapi apa yang terjadi? Ustadz dengan mudah menjawab bahwa uang tersebut boleh diambil asal yang memberi ikhlas. Bapak 3 orang anak ini semakin bingung. Bagaimana yang memberikan uang tersebut terlihat ikhlas?

Seorang Suyono adalah figur Polisi yang taat pada agama. Anda pastinya akan mengatakan semua polisi tak lebih dari uang dan uang. Tapi polisi bertubuh tegap ini selain disiplin tinggi, ia juga sangat mempertimbangkan mana yang hak dan mana yang bathil. Siapapun tak mengira jika pengabdian pada negara digunakan untuk keluarga. Tapi di balik itu semua, ada keniscayaan dibenaknya. Suyono tak lebih dari korban keburukan citra polisi. Ia tidak hanya di gaji kurang dari 1, 5 juta (bruto) perbulan.

Dalam urusan asuransi kesehatan saja, kata Suyuno yang saat itu bertugas di Jakarta, instituisi pemerintahan/kedinasan (Polri) ternyata tidak memprioritaskan karyawannya. Bahkan rumah dinas yang ditempatinya dihargai Rp 15 juta oleh seniornya. “Jadi setiap anggota yang menempati rumah tersebut jika dijual selalu berlipat-lipat harganya, ”jelasnya. Dan Suyonopun harus berjibaku membayar dengan memotong gaji Rp 500 tiap bulannya.

Kini upaya Suyono terakhir, tetap bersikeras untuk pindah dari jabatan Polantas, pahitnya ia harus keluar dari Polri. Tapi untuk urusan keluar, nyatanya sangat sulit, karena terbentur dengan intervensi para atasan.

Di penghujung cerita ia memberitahu lahan-lahan empuk Polantas untuk mencari nafkah yang tidak halal di Jakarta. “Bapak lihat di sana ada berapa petugas yang mengatur lalu lintas. Padahal di sini bukan lokasi tempat mereka bertugas. “Bagi mereka Ramadhan bulan penuh berkah untuk mencari uang lebaran, ”tandasnya penuh arti. Sambil bersalaman, ia bergegas pergi. “Maaf pak, saya akan bertugas kembali”.

Mudah-mudahan, polisi-polisi lain seperti Pak Suyono ini cukup banyak, sehingga citra polisi yang masih saja terpuruk di mata masyarakat bisa meningkat postif. Mudah-mudahan Ramadhan kali ini membawa kebaikan bagi mereka. Amien.

Sumber : EraMuslim
Oleh : Abumiftah
30 September 2007