Selamat Datang

Dalam banyak kisah yang dibuat para pembuat film, sering ada dua wajah yang menggambarkan Polisi, yaitu Polisi Baik dan Polisi buruk. Polisi baik adalah mereka yang digambarkan bisa tampil dalam perannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi buruk adalah mereka yang digambarkan tampil dalam perilaku menakutkan, bersikap mentang-mentang dan mata duitan (Akhlis Suryapati, Wartawan/ Seniman). figur Polisi yang diinginkan tentunya adalah Polisi Baik, sosok Polisi yang selalu menjadi impian dan harapan oleh semua orang. Melalui blog ini ITWASDA POLDA KALIMANTAN SELATAN menyajikan kumpulan kisah humanis Kepolisian dari berbagai sumber yang bisa menjadi teladan bagi Kepolisian Sendiri maupun masyarakat.

Tugas Pertama Sebagai Polisi


Seorang calon polisi sedang menjalankan tugas pertamanya dalam mobil polisi dengan seniornya yang sudah berpengalaman.

Sebuah panggilan meminta mereka untuk membubarkan beberapa orang yang mondar-mandir di jalan. Polisi itu segera menuju ke jalan yang dimaksud.

Di sebuah sudut jalan terlihat sebuah kerumunan kecil. Calon polisi itu membuka jendelanya dan berkata, “Ayo bubar, bubar.”

Beberapa orang memandang saja, tetapi tak seorang pun bergerak, lalu ia berteriak lagi dengan suara yang lebih keras dan digalak-galakkan, “Ayo cepat bubar… sekarang!!!!”

Karena merasa terancam, kumpulan orang itu mulai bubar, sambil melihatnya dan bertanya-tanya dalam hati.

Bangga dengan tindakannya, polisi muda itu menoleh pada seniornya dan berkata, “Bagaimana bang aksiku tadi?”

“Hebat!!!” kata seniornya, “Baru pertama kali ini aku melihat seorang Polisi membubarkan orang-orang yang sedang menunggu bis di halte!”


SUMBER :
http://www.malau.net/

Ketika Kita Harus Menghargai Polisi

“Saya tidak punya saudara Polisi, bukan pula anak Polisi apalagi seorang Polisi.. Saya hanya ingin melihat sisi lain dari Polisi..”

Beberapa hari yang lalu saya berencana men
gadakan buka puasa bareng dengan teman-teman yang sudah cukup lama tidak ketemu. Meskipun saya “tidak berpuasa”, tetapi tentu tidak ada salahnya ikut dalam acara tersebut.

Berangkat dari kantor menuju lokasi bukber (buka bersama red.) yang berlokasi di Jl. Thamrin tentu harus dilakukan dengan bergegas, karena seperti biasa, Jakarta pasti dihinggapi kemacetan yang luar biasa. Apalagi di bulan Ramadhan, tentu semua orang ingin pulang cepat, semua orang ingin berbuka puasa dirumah.

Hari itu Jakarta dilanda hujan yang lumayan deras, dan hal ini tentu saja membuat Jakarta semakin macet. Dimana-mana terjadi stagnasi kendaraan. Tentu bagi orang yang berpuasa ini merupakan tantangan berat. Disamping lapar dan haus, kemacetan yang luar biasa membuat pikiran sumpek ditambah kekhawatiran (kepasrahan lebih tepatnya) tidak bisa berbuka bersama keluarga yang disayangi.

Integritas seorang Polisi

Memandang dari kaca jendela bus kota, saya melihat sesosok manusia yang dari uniformnya sudah sangat dikenal di negara ini sedang sibuk dan tidak kenal lelah tetap meniup peluitnya untuk mengatur kendaraan yang sudah tidak terkendali. Ya benar, manusia itu adalah seorang Polisi Lalu Lintas.

Hati saya langsung terenyuh melihat kegigihan beliau untuk tetap stay dibawah hujan yang sudah mulai reda demi lancarnya perjalanan orang-orang yang ingin melanjutkan perjalanan menuju tujuan masing-masing. Entah kenapa saya meyakini bahwa beliau juga seorang muslim, yang kemungkinan besar juga sedang berpuasa. Ketika orang duduk enak didalam mobil yang ber-AC ditemani dengan ta’jil yang banyak, Pak Polisi tersebut tetap sabar mengatur lalu lintas yang terlanjur macet. Jika beliau sedang berpuasa, saya yakin beliau juga merasakan lapar dan haus seperti orang berpuasa lainnya. Saya juga meyakini, Pak Polisi itu juga tentu ingin berbuka puasa dirumah bersama isteri dan anak yang disayangi.

Segala asap yang sudah bercampur baur rela untuk dihirup karena tidak memungkinkan memakai masker sembari meniup peluit/semprit. Celana yang sudah agak basah tentu saja bisa membuat masuk angin apalagi disebabkan oleh perut kosong karena puasa. Di sisi lain, Asuransi kesehatan yang diberikan negara tentu sangat tidak cukup untuk mengcover apabila beliau sakit. Apalagi mengurus asuransi untuk pegawai yang berbelit-belit di Rumah Sakit dan kompensasi yang tidak maksimal (karena pemegang Askes seringkali dianggap sebagai “pasien anak tiri”) tentu tidak sebanding dengan pengorbanan yang diberikan oleh beliau.

Objektivitas

Melihat semua itu saya berfikir, bahwa ada Polisi-Polisi lain yang rela tidak berlebaran demi mengatur lancarnya arus mudik. Ada Polisi-Polisi lain yang melihat orang lain berlebaran, sementara dirinya masih di jalan dan meninggalkan anak isteri yang berlebaran tanpa kehadiran mereka.

Saya memang termasuk orang yang ikut melakukan kritik keras terhadap Polisi. Apalagi melihat berita-berita yang ditayangkan di berbagai media. Tetapi saya juga harus menjaga objektivitas saya dengan mengatakan salut kepada Polisi-Polisi yang masih memiliki integritas dan loyalitas tidak saja kepada institusi dan negara, tetapi juga kepada Tuhan.

Terlepas dari kejadian-kejadian yang tidak enak yang mungkin dialami oleh saya dan teman-teman dengan Polisi Lalu Lintas, saya mengapresiasi loyalitas Pak Polisi itu. Dan ketika menyadari ini semua, saya meyakini bahwa “Harapan untuk menjadikan Polisi sebagai institusi yang berwibawa itu masih ada.” Saya yakin bahwa Kepolisian mampu untuk berwibawa karena bersih, berwibawa karena Jujur dan berwibawa karena Tegas!!

Ketika saya berhasil melewati kemacetan lalu lintas, dan bertemu dengan teman-teman sambil berbuka puasa menikmati hidangan yang menggugah selera, dari kaca gedung yang tinggi itu, saya melihat kebawah dimana ada Pak Polisi yang lain masih sibuk mengatur lalu lintas.
Berbuka duluan ya Pak… (padahal ga puasa..)

Salam hangat buat Pak Polisi di perempatan Palmerah dan Sarinah yang saya lihat pada 24 Agustus 2010 antara jam 16.00 - 18.30 WIB.

Regards

-Ricky Saragih-


SUMBER :

http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/26/ketika-kita-harus-menghargai-polisi/