Selamat Datang

Dalam banyak kisah yang dibuat para pembuat film, sering ada dua wajah yang menggambarkan Polisi, yaitu Polisi Baik dan Polisi buruk. Polisi baik adalah mereka yang digambarkan bisa tampil dalam perannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi buruk adalah mereka yang digambarkan tampil dalam perilaku menakutkan, bersikap mentang-mentang dan mata duitan (Akhlis Suryapati, Wartawan/ Seniman). figur Polisi yang diinginkan tentunya adalah Polisi Baik, sosok Polisi yang selalu menjadi impian dan harapan oleh semua orang. Melalui blog ini ITWASDA POLDA KALIMANTAN SELATAN menyajikan kumpulan kisah humanis Kepolisian dari berbagai sumber yang bisa menjadi teladan bagi Kepolisian Sendiri maupun masyarakat.

Anak Kesayanganku Telah Pergi


Satu tahun sudah kepergian anakku, Rezi Windarto namanya, seorang Brimob Polri berpangkat Bharada yang bertugas di Jakarta. “Assalamualaikum Bu, do’akan aku, untuk kesuksesanku di kota orang”. Kata-kata itulah yang terakhir aku dengar langsung dari bibirnya sebelum berangkat tugas mengabdi kepada nusa dan bangsa.

Pada 14 November beberapa tahun yang lalu, aku menghadiri pelantikan anakku Rezi di Pusdik Brimob Watukosek. “Rezi Windarto, Satbrimob Metra Jaya”, Itulah yang aku dengar dari salah satu anggota Polisi yang membacakan penempatan pertama bagi polisi muda ini.

Awalnya aku merasa sedih karena tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan sebelumnya tapi Rezi selalu meyakinkan aku bahwa Dia akan selalu menyempatkan pulan setiap ada kesempatan. “Sudah Bu jangan sedih, masih Jakarta kan? Bukan ke bulan…!”. Rayu Rezi sambil memelukku manja. Aku pun tersenyum melihat dia yang semakin dewasa.

Suatu hari dia memberiku kabar bahwa dia mengikuti kegiatan bernama Expedisi NKRI. Tidak banyak aku tahu tentang kegiatan itu, yang kutahu Dia akan melaksanakan tugas. Aku hanya memintanya untuk selalu menjaga diri dan jangan sampai meninggalkan sholat.


Disaat Rezi sedang melaksanakan tugas Expedisinya, Ia sering sekali manghubungiku dan ia selalu menanyakan kabar kami di rumah. Suatu hari Rezi mengabarkan kalau Dia telah selesai melaksanakan kegiatan expedisi dan jika cuti nanti dia berencana untuk pulang menemui kami di Surabaya.

Aku sangat senang sekali, jauh-jauh hari aku sudah minta izin cuti kepada PT dimana aku bekerja namun ternyata rencana itu gagal karena Rezi tiba-tiba saja mendapatkan tugas baru untuk berangkat tugas ke Puncak Jaya Papua.

Belum habis rasa kecewaku, ditambah lagi dengan rasa takut mendengar kemana anakku akan pergi bertugas. Aku dengar selama ini tentang Papua dari televise selalu identik dengan perang suku, ataupun kelompok separatasi bersenjata. Tapi aku harus tetap tenang karena tugas ya tugas, Rezi harus tetap pergi dan menjalankan tugasnya. Aku hanya berpesan agar dia selalu beri kabar dan jangan pernah meninggalkan sholat.

Tepat satu Juli setahun yang lalu, cuaca hari itu mendung, suasana di luar sanapun begitu gelap. Tertegun aku memandang monitor televise di depan mataku, tanganku ini terasa kaku untuk melanjutkan pekerjaanku. Setumpuk kertas masih tersusun di meja kerjaku, masih sedikit yang bisa diselesaikan. Dengan tertunduk lesu, meski aku merasa skurang semangat aku selesaikan sedikit demi sedikit pekerjaan.

Sore itu jam yang melekat di tanganku menunjukkan pukul 17.00 WIB, aku mulai beranjak menuju mess yang memang disediakan perusahaan tempat aku bekerja Entah mengapa aku merasa ada yang tidak enak dengan perasaanku, tapi tetap saja aku memungkirinya. Aku lempar tasku dan ebgegas untuk segera mandi. Sambil menunggu adzan magrib, aku baringkan sebentar tubuhku yang lelah ini.

Baru sebentar aku beristirahat, ponselku tiba-tiba bordering terlihat sebuah nomer panggilan tak bernama. “Halo, Assalamualaikum “ Ucapku.

“Wa’alaikumsalam, ini benar dengan Mamnya Rezi ?”. Jawab suara telpon itu.

“Iya, dengan siapa ini ?”. Tanyaku

“Saya Doni Bu, seniornya Rezi, mengabarkan kalau Rezi meninggal dalam tugas. Jenazah akan segera dipulangkan ke kampong halaman malam ini juga jawabnya lagi.

Aku terdiam dan tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Jantungku terasa berhenti berdetak saati itu juga, ponsel yang kupegang terjatuh dan tak terdengar suara lagi. Air mataku mengalir deras. Dalam keadaan kalut langsung kuambil tas dan akupun segera berkemas sambil menghubungi Ayah Rezi yang sedang berlayar agar segera pulang.

Sesampainya dirumah, aku disambut oleh sanak saudaraku yang telah aku kabari sebelumnya. Aku langsung duduk di tengah ruangan, seketika air mataku kembali mengalir dan membayangkan semua kenangan bersamanya. Kecilnya, bandelnya, tangisnya dan senyumnya, seakan aku masih tak percaya kalau kini dia telah tiada.

Keesokan harinya tepat pukul 13.00 WIB terdengar dari jauh sirine iringan mobil Polisi dan mobil jenazah yang mengantar jenazah anak kesayanganku. Suara tangsi pecah siang itu, bahkan lebih haru dari sebelumnya. Tampak sosok anggota Brimob berseragam hitam lengkap menghampiriku.

“Ibu orang tuanya Rezi ?” Brimob itu bertanya kepadaku.

“Iya benar, saya Ibunya”. Jawabku

“Perkenalkan saya Doni, saya seniornya Rezi yang menelpon Ibu kemarin. Kami serah terimakan ke pihak keluarga Jenazah Rezi” Terangnya padaku.

Aku semakin kalut dalam kesedihan, semakin deras air mataku.

“Sabar Bu,,, Ikhlaskan almarhum biar tenang di sana”. Brimob itu mencoba menenangkanku.

Begitu beratnya mulutku ingin bertanya, begitupun hatiku yang masih tak percaya.

“Pak,,, sebenarnya apa yang terjadi pada anak ku ?” Tanyaku sambil menahan haru tangis. Lalu iapun menceritakan kronologi kejadian yang telah menimpa anakku.

Rezi begitu pemberiani Bu, Dia anggota yang baik dan rajin beribadah, Dia juga anggota yang berdedikasi tinggi buat kesatuan. Dia meninggal  dalam tugas mulia.

Sore itu, memang tak seperti sore-sore seperti biasanya, kegiatan kami saat itu adalah mencoba mengevakuasi masyarakat yang terjangkit sakit malaria yang berada di Puncak Jaya. Saat itulah, Rezi memperlihatkan rasa kemanusiaan dan ketulusannya untuk membantu sesame. Dengan gagah berani dia menawarkan dirinya untuk ikut melaksanakan evakuasi.

Saat perjalanan pulang untuk kembali ke Poskotis kami dikejutkan dengan suara tembakan yang berasal dari ketinggin. Saat itu, juga kami tersadar kalau Rezi Windarto ternyata telah gugur dalam kontak itu, namun masyarakat yang satu mobil dengan Rezi berhasil selamat dan tetap hidup. Dia memang telah pergi untuk kembali ke sang pencipta. Tapi dia akan hidup di dalam hati kita semua.

Saya selaku senior sekaligus komandan regunya dalam penugasan itu, sangat bangga dan memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Rezi yang tela mengorbankan jiwa raganya demi kemanusiaan.

Mendengar penjelasan itu, seolah-olah hatiku masih tak percaya, namun akupun bangga melihat pengorbanan anak kesayanganku. Ceritanya takkan pernah terhapus dari ingatanku. Dialah Rezi Windarto, Brimob kebanggaanku.

By: EMJE

SUMBER : Majalah Teratai Edisi 141 Tahun XIII Desember 2015

1 komentar: