Sejak Abad ke-7 Masehi, tugas-tugas Kepolisian sudah dikenal namun masih bersifat tradisional yang dilaksanakan oleh pasukan keamanan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sebutan Bhayangkara digunakan oleh pasukan keamanan kerajaan Majapahit.
Pasukan Bhayangkara pada masa Kerajaan Majapahit |
Perjalanan panjang Kepolisian Negara Republik Indonesia kemudian dimulai sejak 11 Februari 1814. Pada masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Inggris, Stanford Raffles (1811-1817), itulah untuk pertama kalinya keluar Peraturan tentang Tata Usaha Justisi pada Pengadilan Daerah di Pulau Jawa dan Tata Usaha Kepolisian.
Pada tahun 1817 terjadi pengalihan kekuasaan Inggris kepada Belanda. Peralihan itu ikut mengubah struktur organisasi Kepolisian. Negeri Belanda mengusulkan struktur organisasi kepolisian di tanah jajahan Hindia Belanda disempurnakan, baik yang menyangkut bidang pimpinan, pendidikan, kepangkatan maupun perlunya diikutsertakan orang-orang pribumi dalam tugas-tugas kepolisian.
Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897 - 1920 adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini. (id.wikipedia.org)
Pentas sejarah mulai berubah dalam Perang Dunia II. Kekuasaan Belanda di Indonesia jatuh ke tangan Jepang, tepatnya sejak 9 Maret 1942. Sejumlah Kepala Polisi berkebangsaan Belanda ditawan oleh Jepang dan posisi tersebut digantikan oleh orang-orang Indonesia. Jumlah Polisi yang diserahterimakan dari pemerintah Belanda pada saat itu adalah sebanyak 31.620 orang.
Kekuasaan Dai Nippon berlangsung singkat, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945 yang puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Setelah dikumandangkannya Proklamasi, di beberapa Kantor Polisi Jakarta secara spontan menurunkan bendera-bendera Jepang dan menggantikannya dengan Bendera Merah Putih. Hari-hari berikutnya Pengibaran bendera merah putih ini juga diikuti oleh kantor-kantor Polisi di seluruh wilayah Indonesia dan menyatakan diri sebagai Polisi Republik Indonesia. Sehingga secara resmi kepolisian menjadi Kepolisian Indonesia yang merdeka.
Karena di awal kemerdekaan masih belum ada kesatuan bersenjata maka Kepolisian diberikan tanggung jawab untuk menjaga keamanan Republik Indonesia yang baru lahir ini. Untuk mengukuhkan kedudukan Kepolisian di Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945, memasukkan Kepolisian dalam lingkungan Departemen Dalam negeri yang diberi nama Badan Kepolisian Negara (BKN)
Kepolisian yang sudah ada sejak awal kemerdekaan sebelum lahirnya kesatuan bersenjata lainnya ini membuat DR. H. Ruslan Abdulgani eX TRIP dan tokoh pejuang yang turut berperan aktif dalam Palagan 10 November 1945 menyatakan "Pasukan Polisi Istimewa lahir lebih dulu dari yang lain".
Pada tanggal yang sama yaitu 19 Agustus 1945 Jepang membubarkan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho sedangkan senjata mereka dilucuti sehingga pada awal kemerdekaan cuma kesatuan Polisi yang memiliki senjata. Hal ini dilakukan Jepang karena setelah kalah perang, tentara Jepang di Indonesia mendapat perintah dari Sekutu untuk menjaga satusquo sampai kedatangan Sekutu di Indonesia.
Kepolisian Indonesia juga diperintahkan Jepang untuk menyerahkan senjatanya namun secara tegas ditolak. Malah kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, untuk membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun organisasi-organisasi pejuang tanah air secara bersama melakukan pelucutan senjata tentara Jepang yang kalah perang.
Kesatuan Polisi Istimewa di Surabaya Pimpinan M. Jasin boleh dibilang kecil, cuma beberapa ratus orang saja, itu sebabnya mereka bergabung dengan rakyat. Kalau rakyat sedang bergerak, di tengah-tengah selalu ada truk dan panser milik Pasukan Polisi Istimewa lengkap dengan senjata mesin. melihat rakyat bak gelombang yang tak henti-henti itu, akhirnya tentara Jepang setuju menyerahkan seluruh persenjataan, termasuk tank dan panser kepada Polisi Istimewa.
Senjata Rampasan tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat dan pemuda dalam organisasi perjuangan. Selain itu, Polisi Surabaya juga giat melatih perang para pemuda dan rakyat dalam menghadapi serangan tentara sekutu.
Jenderal (TNI) Tri Sutrisno menyatakan, "Tindakan Inspektur I Moehammad Jasin mempersenjatai Rakyat Pejuang telah memberikan andil yang cukup besar dalam gerak maju para pejuang kemerdekaan di Surabaya, yang kemudian mencapai puncaknya pada pertempuran heroik di Surabaya tanggal 10 Nopember 1945."
Mempersenjatai rakyat pejuang sekaligus gerakan pembinaan kemiliteran dan pelatihan tempur yang dipelopori oleh Kesatuan Polisi Istimewa ini secara langsung sangat berpengaruh hingga tersusunnya kesatuan-kesatuan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dari pembinaan kemiliteran dan pelatihan tempur tersebut membuat Jenderal TNI / AD Sukanto Sayidiman menyatakan, "Pak Yasin dan Pasukan Polisi Istimewa adalah guru dan pelatih kami."
Setelah peristiwa 10 Nopember 1945, dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 1 Juli 1946, berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/SD Tahun 1946, Kepolisian beralih status menjadi Jawatan tersendiri yang mulanya di bawah Departemen Dalam Negeri sekarang menjadi langsung di bawah Perdana Menteri.
Peristiwa ini dianggap penting oleh kalangan Kepolisian sehingga tanggal 1 Juli diperingati setiap tahun sebagai Hari Kepolisian. Jadi penetapan tanggal ini sebagai Hari Kepolisian bukanlah berdasarkan atas lahirnya Polri, karena Polri sudah ada sejak lama.
Pada Agresi Militer Belanda, karena pengaruh situasi revolusi fisik untuk menentang Kolonialis Belanda yang ingin menjajah kembali tanah air Indonesia akhirnya dikeluarkan Penetapan Dewan Pertahanan tanggal 1 Agustus 1947 No. 112 tentang Militerisasi Kepolisian Negara. Pada masa itu Kepolisian diintegrasi ke dalam ABRI untuk sementara waktu untuk bersama-sama berjuang melawan Kolonialis Belanda.
Setelah Agresi Militer Belanda berhasil dilalui, Pembicaraan tentang Integrasi Polri ke dalam tubuh ABRI semakin gencar di tahun 1960 - 1964 karena pada waktu itu Partai Komunis Indonesia (PKI) selalu memprovokasikan adu domba antar Angkatan-Angkatan Bersenjata untuk kepentingan partainya.
Integrasi Polri ke dalam ABRI semakin jelas setelah ditetapkannya Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata. Ketetapan MPR tersebut kemudian dipertegas dengan Penetapan DPR-GR, tanggal 19 Juni 1961 tentang Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13/1961. Pada Pasal 3 UU tersebut menyatakan, bahwa Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata.
Untuk meningkatkan integrasi ABRI, dengan SK Presiden No. 132/1967
tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur
Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian
dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang
masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal
Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Pengaruh Integrasi penuh ini ada segi positif dan negatifnya. Segi positifnya adalah mencegah perpecahan antar Angkatan sedangkan segi negatifnya adalah sikap dan perilaku anggota Polri banyak diwarnai militer sehingga penampilannya lebih seperti militer dibandingkan sebagai penegak hukum. Sikap semacam ini yang selalu dibahas dalam upaya perlunya Polri dipisahkan kembali dari ABRI.
Sejak Bergulirnya proses reformasi di Indonesia, terjadi banyak perubahan yang cukup besar, ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru, digantikan oleh pemerintahan Reformasi, kebebasan pers, hukum, kebebasan mengeluarkan pendapat dan lain-lain.
Di tengah maraknya tuntutan masyarakat di era reformasi, kalangan masyarakat juga menghendaki dipisahkannya Polri dari ABRI dengan harapan agar Polri menjadi lembaga yang profesional dan mandiri jauh dari intervensi dalam menegakkan hukum. Akhirnya sejak tanggal 1 April 1999, Polri secara resmi dipisahkan dari ABRI dan sebutan ABRI diganti menjadi TNI.
Pemisahan kembali antara Polri dan TNI pada tanggal 1 April 1999 inilah yang terkadang disalahmengerti oleh orang yang belum mempelajari sejarah dengan menyebutkan bahwa TNI adalah saudara tuanya Polri. Padahal Polri sudah ada di Indonesia sejak lama bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kemudian sejak awal kemerdekaan, hanya Polisilah yang waktu itu merupakan satu-satunya kesatuan bersenjata yang relatif lengkap dan terorganisir sehingga menjadi modal awal dalam mempertahankan kemerdekaan serta membantu lahirnya kesatuan bersenjata lainnya di tanah air.
Dalam perkembangan paling akhir dalam Kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi juga terlibat dalam masalah-masalah keamnan dan ketertiban regional maupun antar bangsa sebagaimana yang ditempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan Polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi Kepolisian Dunia, misalnya di Namibia (Afrika Selatan), Kamboja (Asia), dan Darfur (Sudan).
Disusun oleh Ahmad Ridha
SUMBER :
1. Buku Berjudul Setengah Abad Mengabdi diterbitkan oleh Mabes ABRI tahun 1996.
2. Buku Berjudul Sejarah Kepolisian Di Indonesia diterbitkan oleh Mabes Polri tahun 1999
3. Buku Berjudul Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama tahun 2010.
4. Website : https://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia
terima kasih atas artikelnya. dari sejarah kita banyak belajar dan mengerti asal usul sebuah satuan dan negara
BalasHapusterimakasih
BalasHapusayam taji
BalasHapus