Satu tahun sudah kepergian anakku, Rezi Windarto namanya,
seorang Brimob Polri berpangkat Bharada yang bertugas di Jakarta. “Assalamualaikum
Bu, do’akan aku, untuk kesuksesanku di kota orang”. Kata-kata itulah yang
terakhir aku dengar langsung dari bibirnya sebelum berangkat tugas mengabdi
kepada nusa dan bangsa.
Pada 14 November beberapa tahun yang lalu, aku menghadiri
pelantikan anakku Rezi di Pusdik Brimob Watukosek. “Rezi Windarto, Satbrimob
Metra Jaya”, Itulah yang aku dengar dari salah satu anggota Polisi yang
membacakan penempatan pertama bagi polisi muda ini.
Awalnya aku merasa sedih karena tidak sesuai dengan apa yang
aku harapkan sebelumnya tapi Rezi selalu meyakinkan aku bahwa Dia akan selalu
menyempatkan pulan setiap ada kesempatan. “Sudah Bu jangan sedih, masih Jakarta
kan? Bukan ke bulan…!”. Rayu Rezi sambil memelukku manja. Aku pun tersenyum
melihat dia yang semakin dewasa.
Suatu hari dia memberiku kabar bahwa dia mengikuti kegiatan
bernama Expedisi NKRI. Tidak banyak aku tahu tentang kegiatan itu, yang kutahu
Dia akan melaksanakan tugas. Aku hanya memintanya untuk selalu menjaga diri dan
jangan sampai meninggalkan sholat.
Disaat Rezi sedang melaksanakan tugas Expedisinya, Ia sering
sekali manghubungiku dan ia selalu menanyakan kabar kami di rumah. Suatu hari
Rezi mengabarkan kalau Dia telah selesai melaksanakan kegiatan expedisi dan
jika cuti nanti dia berencana untuk pulang menemui kami di Surabaya.
Aku sangat senang sekali, jauh-jauh hari aku sudah minta
izin cuti kepada PT dimana aku bekerja namun ternyata rencana itu gagal karena
Rezi tiba-tiba saja mendapatkan tugas baru untuk berangkat tugas ke Puncak Jaya
Papua.
Belum habis rasa kecewaku, ditambah lagi dengan rasa takut
mendengar kemana anakku akan pergi bertugas. Aku dengar selama ini tentang
Papua dari televise selalu identik dengan perang suku, ataupun kelompok separatasi
bersenjata. Tapi aku harus tetap tenang karena tugas ya tugas, Rezi harus tetap
pergi dan menjalankan tugasnya. Aku hanya berpesan agar dia selalu beri kabar
dan jangan pernah meninggalkan sholat.
Tepat satu Juli setahun yang lalu, cuaca hari itu mendung,
suasana di luar sanapun begitu gelap. Tertegun aku memandang monitor televise di
depan mataku, tanganku ini terasa kaku untuk melanjutkan pekerjaanku. Setumpuk
kertas masih tersusun di meja kerjaku, masih sedikit yang bisa diselesaikan.
Dengan tertunduk lesu, meski aku merasa skurang semangat aku selesaikan sedikit
demi sedikit pekerjaan.
Sore itu jam yang melekat di tanganku menunjukkan pukul
17.00 WIB, aku mulai beranjak menuju mess yang memang disediakan perusahaan
tempat aku bekerja Entah mengapa aku merasa ada yang tidak enak dengan
perasaanku, tapi tetap saja aku memungkirinya. Aku lempar tasku dan ebgegas
untuk segera mandi. Sambil menunggu adzan magrib, aku baringkan sebentar
tubuhku yang lelah ini.
Baru sebentar aku beristirahat, ponselku tiba-tiba bordering
terlihat sebuah nomer panggilan tak bernama. “Halo, Assalamualaikum “ Ucapku.
“Wa’alaikumsalam, ini benar dengan Mamnya Rezi ?”. Jawab
suara telpon itu.
“Iya, dengan siapa ini ?”. Tanyaku
“Saya Doni Bu, seniornya Rezi, mengabarkan kalau Rezi
meninggal dalam tugas. Jenazah akan segera dipulangkan ke kampong halaman malam
ini juga jawabnya lagi.
Aku terdiam dan tak sepatah katapun keluar dari mulutku.
Jantungku terasa berhenti berdetak saati itu juga, ponsel yang kupegang
terjatuh dan tak terdengar suara lagi. Air mataku mengalir deras. Dalam keadaan
kalut langsung kuambil tas dan akupun segera berkemas sambil menghubungi Ayah
Rezi yang sedang berlayar agar segera pulang.
Sesampainya dirumah, aku disambut oleh sanak saudaraku yang
telah aku kabari sebelumnya. Aku langsung duduk di tengah ruangan, seketika air
mataku kembali mengalir dan membayangkan semua kenangan bersamanya. Kecilnya,
bandelnya, tangisnya dan senyumnya, seakan aku masih tak percaya kalau kini dia
telah tiada.
Keesokan harinya tepat pukul 13.00 WIB terdengar dari jauh
sirine iringan mobil Polisi dan mobil jenazah yang mengantar jenazah anak
kesayanganku. Suara tangsi pecah siang itu, bahkan lebih haru dari sebelumnya.
Tampak sosok anggota Brimob berseragam hitam lengkap menghampiriku.
“Ibu orang tuanya Rezi ?” Brimob itu bertanya kepadaku.
“Iya benar, saya Ibunya”. Jawabku
“Perkenalkan saya Doni, saya seniornya Rezi yang menelpon Ibu
kemarin. Kami serah terimakan ke pihak keluarga Jenazah Rezi” Terangnya padaku.
Aku semakin kalut dalam kesedihan, semakin deras air mataku.
“Sabar Bu,,, Ikhlaskan almarhum biar tenang di sana”. Brimob
itu mencoba menenangkanku.
Begitu beratnya mulutku ingin bertanya, begitupun hatiku
yang masih tak percaya.
“Pak,,, sebenarnya apa yang terjadi pada anak ku ?” Tanyaku
sambil menahan haru tangis. Lalu iapun menceritakan kronologi kejadian yang
telah menimpa anakku.
Rezi begitu pemberiani Bu, Dia anggota yang baik dan rajin
beribadah, Dia juga anggota yang berdedikasi tinggi buat kesatuan. Dia
meninggal dalam tugas mulia.
Sore itu, memang tak seperti sore-sore seperti biasanya,
kegiatan kami saat itu adalah mencoba mengevakuasi masyarakat yang terjangkit
sakit malaria yang berada di Puncak Jaya. Saat itulah, Rezi memperlihatkan rasa
kemanusiaan dan ketulusannya untuk membantu sesame. Dengan gagah berani dia
menawarkan dirinya untuk ikut melaksanakan evakuasi.
Saat perjalanan pulang untuk kembali ke Poskotis kami
dikejutkan dengan suara tembakan yang berasal dari ketinggin. Saat itu, juga
kami tersadar kalau Rezi Windarto ternyata telah gugur dalam kontak itu, namun
masyarakat yang satu mobil dengan Rezi berhasil selamat dan tetap hidup. Dia
memang telah pergi untuk kembali ke sang pencipta. Tapi dia akan hidup di dalam
hati kita semua.
Saya selaku senior sekaligus komandan regunya dalam
penugasan itu, sangat bangga dan memberikan penghormatan setinggi-tingginya
kepada Rezi yang tela mengorbankan jiwa raganya demi kemanusiaan.
Mendengar penjelasan itu, seolah-olah hatiku masih tak percaya,
namun akupun bangga melihat pengorbanan anak kesayanganku. Ceritanya takkan
pernah terhapus dari ingatanku. Dialah Rezi Windarto, Brimob kebanggaanku.
By: EMJE
ayam taji
BalasHapus