Selamat Datang

Dalam banyak kisah yang dibuat para pembuat film, sering ada dua wajah yang menggambarkan Polisi, yaitu Polisi Baik dan Polisi buruk. Polisi baik adalah mereka yang digambarkan bisa tampil dalam perannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi buruk adalah mereka yang digambarkan tampil dalam perilaku menakutkan, bersikap mentang-mentang dan mata duitan (Akhlis Suryapati, Wartawan/ Seniman). figur Polisi yang diinginkan tentunya adalah Polisi Baik, sosok Polisi yang selalu menjadi impian dan harapan oleh semua orang. Melalui blog ini ITWASDA POLDA KALIMANTAN SELATAN menyajikan kumpulan kisah humanis Kepolisian dari berbagai sumber yang bisa menjadi teladan bagi Kepolisian Sendiri maupun masyarakat.

Sapu itu bernama Polisi

Sapu berguna untuk menyapu, membersihkan dan membuang kotoran maupun sampah. Segala bekerjaan kotor menggunakan sapu untuk membersihkan. Di lantai, di dinding maupun di langit-langit.

Seandainya sapu tersebut adalah manusia akankah dia menjerit, akankah dia berteriak. Bisa ya, bisa juga tidak kalau dia menyadari bahwa itulah tugas dan tanggung jawabnya. Untungnya sapu bukanlah manusia, jadi sapu tidak bisa berbicara.

Kalo kita renungkan lagi dalam setiap negara ada organisasi yang berperan sebagai sapu di masyarakat. Sapu tersebut lebih dikenal dengan nama Polisi. Polisilah yang bertugas mengurai gelapnya kasus kejahatan. Polisi dituntut mampu menyibak belantara kejahatan di masyarakat.

Polisi merupakan “pekerjaan kasar”, mereka harus banyak berada di lapangan, di rimba belantara dunia hitam. Tidak mengherankan jika ada pendapat yang menjuluki Polisi sebagai penegak hukum jalanan Bitter pakar hukum dari AS menilai pekerjaan Polisi sebagai the dirty job or a tainted occupation (pekerjaan kotor atau jabatan penuh cela).

Inilah Polisi, sapu di masyarakat, melaksanakan pekerjaan kotor untuk ketentraman masyarakat. Namun, meskipun melaksanakan pekerjaan yang mulia, tapi terkadang tidak pernah lepas dari hinaan dan celaan dari masyarakat itu sendiri.

Seram.......!

Kisah yang menyeramkan ini terjadi Kamis malam lalu (malam Jumat), menimpa seorang perwira berpangkat Komisaris besar (Kombes) Polisi di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta.

Pada hari itu, Kombes X bekerja lembur menangani kasus Bank Century yang sedang heboh-hebohnya, sehingga terpaksa ia pulang larut sekitar pukul 2 dinihari. Sesampainya ia di depan lift, Kombes X menekan tombol untuk turun. Kemudian, pintu lift terbuka tanpa ada siapa-siapa di dalamnya. Dia masuk dan memencet tombo “G” guna menuju ke lantai dasar atau ground floor. Tetapi entah mengapa, lift yang dia naiki itu tidak turun ke bawah, malah terus saja naik ke atas.

Ketika sampai di tingkat 30, lift berhenti. Pintu lift terbuka. Kemudian masuklah seorang perempuan yang sangat cantik, menawan, menebar senyum manis. Kombes X belum pernah melihat wanita ini sebelumnya meski sudah bertugas di bagian reserse dan criminal hamper tujuh tahun. Perempuan tadi masuk dan berdiri di belakangnya.

Otak reserse sang kombes pun bermain. Dia bertanya-tanya di dalam hati tentang siapa perempuan itu, dan mengapa pula hingga lewat tengah malam belum pulang ke rumah. Ong Julianakah dia yang kini sedang dicari-cari terkait kasus Anggodo? Kombes X lebih memilih diam. Si perempuan pun seperti itu. Tak sedikit pun suara keluar dari bibirnya yang dilapisi lipstik merah menyala.

Dalam suasana hening begitu, tiba-tiba lift meluncur turun dengan kecepatan yang tak biasa. Terus meluncur dari satu tingkat ke satu tingkat berikutnya secara cepat.

Tiba di tingkat 13 lampu lift padam dan lift terhenti. Seketika Kombes X mencium bau teramat busuk. Bulu romanya merinding. Dia pun mulai membaca ayat-ayat suci yang terlintas diingatan sambil memberanikan diri dan perlahan menoleh ke belakang.

Pada saat itu lampu lift tiba-tiba menyala kembali. Perempuan yang berada di belakangnya tertawa, lalu dengan suara nyaris berbisik dia bersuara: ”Maaf ya Mas, saya kentut...”


Majalah Machdum Sakti
Nomor 7 Tahun XII / November 2009

Pilot Si Capung Besi


Murah senyum adalah kesan pertama yang tertangkap di awal perjumpaan dengan Fodha Anggara. Pilot capung besi berpangkat Iptu ini mempunyai dua sertifikat pilot yaitu pesawat tetap dan helicopter. Pria kelahiran April 1977 ini masih terhitung sebagai anggota Polisi Udara Mabes Polri. Ia tengah berada di Serambi Mekkah untuk menjalankan tugasnya selama dua bulan terhitung sejak bulan Mei 2009. Alumni pendidikan Perwira Polisi Sumber Sarjana (PPSS) tahun 2003 ini sudah dua kali pertugas di Polda NAD kira-kira setahun yang lalu ia juga bertugas di Serambi Mekah ini.

Selama bertugas sebagai pilot, sulung dari tiga bersaudara ini telah berkunjung ke banyak daerah kejadian menegangkan pernah ia alami pada saat harus menerbangkan helikopter dalam kondisi float (kaki helicopter) kurang pressure (tekanan) dari Gorontalo menuju Ternate melintasi lautan. Dalam penerbangan sipil, jika berada dalam kondisi seperti itu helikopter tidak diijinkan melakukan penerbangan. Karena float berfungsi untuk pendaratan darurat di air / laut. Dan jika float kurang tekanan kemudian helikopter berada dalam kondisi darurat pilot hanya memiliki waktu beberapa detik untuk menyelamatkan diri dari pesawat. Iptu Fodha berharap tidak menghadapi lagi kondisi yang cukup menaikkan hormon adrenalin.

Selama bertugas harus jauh dari keluarga? Hal itu sudah pasti. Dibalik senyuman yang menghias bibirnya ada hasrat yang besar untuk bertemu dengan anak dan istrinya yang tengah mengandung anak kedua mereka.
Demi tugas ia harus menunda rencananya untuk mengantarkan sang isteri memeriksakan kehamilannya hingga masa dinasnya berakhir nanti.

Pengalaman menarik dan tak terlupakan adalah setelah pernikahannya yang digelar pada tanggal 20 Desermber 2004. Tepat lima belas hari setelah pernikahnnya dilangsungkan, ia harus mengakhiri masa bulan madunya karena bencana tsunami di Serambi Mekkah. Kejadian itu mengharuskannya ke pangkalan udara di Pondok Cabe untuk memastikan agar barang-barang bantuan dapat terkirim ke tempat tujuan.

“Bagi saya menjadi pilot itu harus tanggap, cepat, tepat, serta rapi”, Ucapnya mengakhiri perbincangan.


SUMBER :
Reporter Ribut
Fotografer khairul, hasbi.
Majalah Machdum Sakti
Nomor 2 Tahun XII Juni 2009.

Ditilang Polisi, dan Polisi itu temanku…!!!


Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati jono berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Priiiiittt……….!!!!!!!!
Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.

Hey, itu kan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jono agak lega, ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya. “Hai Bob, senang sekali ketemu kamu lagi!”

“Hai Jon.” Tampa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”

“Oh ya?” Jawab Bobi.
Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”

“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.” Ooooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.

“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah, Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo dong Jon, kami melihatnya dengan jelas.Tolong keluarkan SIM-mu.”

Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit.

Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini, ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.

“Halo Jono, tahukah kamu Jon, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Bobi)”.

Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun, Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan….!!!

Tak selamanya perngertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati. Drive Safely Guys…!!!!


SUMBER :
Majalah Jagratara
Edisi XLVII Juni 2009

Mathilda Batlayeri Teladan Bhayangkari

Sejarah Bhayangkari Polda Kalimantan Selatan tidak dapat lepas dari kisah heroik Mathilda Batlayeri. Seorang istri Polisi yang gugur bersama ketiga anaknya dalam mempertahankan pos/asrama Polisi Kurau, Kabupaten Tanah Laut (dahulu Kewedanaan Tanah Laut).

Pada tahun 1950-an di Kalimantan Selatan terjadi pemberontakan yang menamakan gerakannya sebagai Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT). Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) KRyT senantiasa melakukan teror dan penyerangan kepada kampung-kampung yang dilaluinya. Tak jarang terjadi penghadangan dan penyerangan terhadap patroli-patroli tentara dan Polisi dengan tujuan merebut senjata sebanyak-banyaknya. Bahkan GPK KRyT tak segan untuk menyerang pos dan asrama militer/polisi.

Pada Rabu, 28 September 1953, dini hari, gerombolan KRyT menyerangan pos/asrama Polisi Kurau yang termasuk wilayah terdepan, mengingat wilayah Kurau merupakan Basis pertahanan GPK KRyT. Dalam penyerangan tersebut, kekuatan GPK KRyT mencapai 50 orang yang dipimpin Suwardi. Mereka bersenjata api yang terbilang modern pada saat itu dan beberapa memakai senjata tajam.

Serangan mendadak di ambang fajar tersebut hanya dihadapi oleh lima orang anggota Polisi bersenjata dan seorang Bhayangkari menggunakan senjata jenis moser milik suaminya. Bhayangkari tersebut adalah Mathilda Batlayeri, yang melibatkan diri dalam pertempuran dikarenakan melihat kekuatan anggota Polisi yang tidak berimbang dalam pertempuran tersebut.

Suami mathilda Batlayeri, AP II (Agen Polisi II) Adrianus Batlayeri, saat pertempuran terjadi sedang mengambil air di sumur, namun karena posisinya yang tidak memungkinkan untuk kembali ke Pos/Asrama, maka Adrianus tidak dapat terlibat dalam pertempuran.

Dalam pertempuran tersebut, GPK KRyT mengalami kesulitan untuk melumpuhkan kekuatan Pos/Asrama Polisi Kurau. Bahkan Suwardi, pemimpin penyerangan, yang konon memiliki ilmu kebal, tertembak oleh Mathilda Batlayeri. Namun, tetap saja pertempuran tidak seimbang. Satu persatu kusuma bangsa berguguran, termasuk ketiga anak dari Mathilda Batlayeri.

Anak Mathilda yang tewas yaitu Alex (9 thn) & lodewijk (6 thn) yang tewas di kamar asrama Polisi, yang mereka tempati dan Max (2,5 thn) tewas di pelukan ibunya. Melihat ketiga anaknya telah tewas, membuat semangat tempur Mathilda Batlayeri, seorang Bhayangkari semakin berkobar, akan tetapi setelah bertempur kurang lebih satu setengah jam, akhirnya Mathilda Batlayeri gugur sebagai kusuma bangsa bersama janin yang sedang dikandungnya. Setelah tidak ada perlawanan lagi dari pihak Polisi, maka GPK KRyT membumihanguskan Pos/Asrama Polisi Kurau. Jenazah Mathilda dan ketiga anaknya turut terbakar dalam kobaran api tersebut.

Semangat juang dan pengabdian yang tiada terkira Mathilda Batlayeri menjadi hal yang patut dihormati dan dikenang. Untuk jasa-jasanya tersebut, atas perintah Kadapol XIII Kaltengsel brigjend Pol. Drs. Moch. Sanusi (Mantan Kapolri periode 1987-1991), pada 13 Agustus 1983 dibangun “Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda batlayeri” di Kurau dan selesai di kerjakan pada 15 Oktober 1983. Kemudian bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 1983, monument tersebut diresmikan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Bhayangkari Ny. Anton Soedjarwo (isteri Kapolri Jenderal Polisi Anton Soedjarwo, periode 1982-1987).

Pada bagian depan Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda Batlayeri terukir tulisan yang berbunyi, “KEPADA PENERUSKU, AKU BHAYANGKARI DAN ANAK-ANAKKU TERKAPAR DI SINI, DI BUMI KURAU YANG SUNYI, SEMOGA PAHATAN PENGABDIANKU MEMBERI ARTI PADA IBU PERTIWI”.




(Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda Batlayeri)

SUMBER :
Buku Waja Sampai Kaputing
Profil Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan