Selamat Datang

Dalam banyak kisah yang dibuat para pembuat film, sering ada dua wajah yang menggambarkan Polisi, yaitu Polisi Baik dan Polisi buruk. Polisi baik adalah mereka yang digambarkan bisa tampil dalam perannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi buruk adalah mereka yang digambarkan tampil dalam perilaku menakutkan, bersikap mentang-mentang dan mata duitan (Akhlis Suryapati, Wartawan/ Seniman). figur Polisi yang diinginkan tentunya adalah Polisi Baik, sosok Polisi yang selalu menjadi impian dan harapan oleh semua orang. Melalui blog ini ITWASDA POLDA KALIMANTAN SELATAN menyajikan kumpulan kisah humanis Kepolisian dari berbagai sumber yang bisa menjadi teladan bagi Kepolisian Sendiri maupun masyarakat.

Surat Kelakuan Baik


Denny ditangkap Polisi karena mencuri tape mobil. Inilah dialog ketika ia diperiksa di kantor Polisi.

“Den, kenapa kamu mencuri?” Tanya petugas.

”Habis, saya terpaksa Pak,” jawab Denny tanpa perasaan bersalah.

”Jawaban klasik!” hardik Polisi, ”terpaksa bagaimana?”

”Iya, Pak. Berani disambar gledek kalau saya bohong Pak. Begini ceritanya. Sya tuh sebenarnya mau cari kantor Polisi, tapi nggak ketemu-ketemu. Tanya ke orang-orang, juga nggak ada yang tahu. Tapi saya nggak kehilangan akal, Pak. Saya malingin aja tape mobil, dan... akhirnya saya sampai juga kan di kantor Polisi.

Antara percaya dan tidak, si petugas pun lalu bertanya,”Memangnya kamu mau apa cari-cari kantor Polisi?”.

“Mau buat Surat Kelakuan Baik untuk tes Polisi, Pak.”

Mendapat Hadiah 10 Juta Rupiah


Seorang polisi menyetop mobil yang sedang dikendarai Paijo. Polisi itu bilang bahwa sehubungan dengan kampanye hari Keselamatan Di Jalan Raya, Paijo mendapat hadiah uang tunai 10 juta rupiah. Itu karena Paijo mengenakan sabuk pengaman.


Paijo hampir-hampir tak percaya dengan keberuntungan ini.

“Ngomong-ngomong uangnya mau diapain nih?”, tanya pak Polisi tersebut.

“Hmmm….kayaknya akan saya pakai buat bikin SIM, Pak!”, jawab Paijo.

“Jangan dengarkan omongan dia, Pak!”, sela Sarimin, teman Paijo yang duduk di sebelahnya, “Dia suka ngaco ngomongnya kalau lagi teler.”

Udin yang tidur di kursi belakang kemudian terbangun, yang ketika melihat pak Polisi langsung berkata, “Benar kan kata saya, mobil curian kayak gini pasti dikenali polisi.”

Saat itu juga terdengar ketukan dari bagasi belakang, disusul suara Prapto yang berteriak, “Hei, kita udah berhasil lewat perbatasan belum? Ganjanya bikin sesak nafas nih!”

Pak Polisi tiba-tiba jatuh pingsan.


SUMBER :
http://www.malau.net/

Meredam Perang di Pegunungan Bintang


Malam itu, Rabu, 10 Desember 2008 terdengar isyarat berupa teriakan-terikan histeris dari atas gunung oleh masyarakat dengan panah siap diluncurkan. Ada Kejadian di Pegunungan Bintang Papua, puluhan massa datang ke Polres untuk meminta kejelasan atas penemuan jenasah (kerangka) yang diduga kepala suku mereka yang telah hilang satu tahun yang lalu.

Keesokan paginya Kamis, 11 Desember 2008 dengan ditemani Kapolres Pegunungan Bintang, Perawat Suudin, tim reskrim dan ident dari Polda Papua berangkat dari bandara Sentani dengan pesawat Sky Treck milik Polri.

“YAKMUM” (dalam agama Islam Assalamu’alaikum) demikian Kapolres membuka orasi singkat sebelum dilakukan proses identifikasi, “….. kami beserta tim dari Polda Papua akan membantu membuktikan siapa sebenarnya kerangka ini…. Jadi tolong masyarakat tetap tenang dan mendukung ….”.

Perwakilan dari masyarakat juga angkat bicara “Kami masyarakat Pegunungan Bintang ingin mendapat kejelasan siapa sebenarnya jenasah (kerangka) ini, dari giginya yang hilang ini adalah Bapak kepala suku kami…. Kami menuntut kejelasan, kalau tidak kami siap perang…”.

Wah bisa kacau ini, dengan Bismillah kami turun ke TKP, proses demi proses kami lewati dengan serius dan berusaha tampil se-ilmiah mungkin, mulai dari pengambilan gambar, sketsa, label, kantong jenasah, sampai fase kedua kami lakukan di depan umum karena tuntutan situasi. Mencuci kerangka yang masih berulat, mencatat, mengukur sampai fase ketiga kami Tanya jawab dengan anggota masyarakat yang kehilangan anggota keluarga.

Ternyata melakukan proses identifikasi di depan umum membawa hasil, masyarakat merasa kagum dengan tahapan identifikasi, apalagi karena kesan menghormati jenasah sangat ditonjolkan. Alhamdulillah jenasah bisa diidentifikasi, dengan bantuan dari keluarga dan teman dekat korban yang menyatakan property yang ada di sekitar jenasah serta perhiasan yang dipakai (gelang kaki, gelang tangan, kaos, rokok, celana) menunjukkan milik kerangka yang ditemukan.

Kapolres akhirnya mengumumkan hasil yang dicapai bahwa jenasah bukanlah kepala suku mereka, masyarakat bisa menerima dengan ikhlas, melan-pelan mereka menurunkan panah dan tombak tanda perdamaian, Pemda mendukung dengan memberikan bantuan kepada keluarga korban. Akhirnya ketenangan kambali ke pegunungan Bintang.

Ingin rasanya kembali ke Jayapura setelah menyelesaikan tugas, akan tetapi kabut membuat penerbangan tidak bisa dilakukan. Akhirnya dengan Kepuasan tersendiri kami bisa tertidur pulas dalam dinginnya udara Pegunungan Bintang.


SUMBER :
Majalah Dokpol

Pencuri

Seorang pria pergi ke kantor Polisi dengan tujuan ingin menemui pencuri yang semalam masuk ke rumahnya yang berniat untuk mencuri

“Oh tidak boleh … Kau akan dapat kesempatan berbicara dengan dia di pengadilan … tenanglah jangan emosi.” Kata Polisi yang bertugas saat itu.

“Oh, tidak, tidak …!” kata pria tersebut.”Aku ingin menemuinya hanya ingin sekedar bertanya, bagaimana dia bisa masuk ke dalam rumahku tanpa membangunkan istriku? Padahal aku sudah mencoba hal itu selama bertahun-tahun, tapi tidak pernah berhasil.

Polisi Juga Manusia

Polisi bukan dewa. Sebagaimana orang lain, mereka juga manusia yang memiliki rasa dan jiwa. Bukan pula Robocop atau superman yang serba bisa, sebab mereka pun membutuhkan orang lain untuk menjalani hidup. Inilah sebagian kisah tentang kehidupan Polisi. Ada yang seharusnya dicontoh, ada pula yang tak semestinya ditiru.


SUMBER :
Machdum Sakti Nomor 6 Tahun XIV – Juni 2010
www.machdumsakti.com

Ditinggal Tugas, Meski akan Melahirkan


Sungguh anugerah tak ternilai didapatkan Ratih Wijaya, salah satu Bhayangkari Korbrimob Polri yang baru saja melahirkan anak kedua berjenis kelamin perempuan tanpa hambatan. Namun dibalik rasa bahagia, dirinya harus melahirkan tanpa didampingi oleh suami yang beberapa jam sebelumnya harus berangkat tugas dalam misi perdamaian PBB di Sudan.

Ditinggal dalam tugas sudah dialaminya sejak belum resmi menjadi isteri Brimob. Selama pacaran saja sudah sering ditinggal tugas ke Aceh, Poso bahkan mau nikahpun harus ditinggal tugas pengawalan selama berbulan-bulan. Itulah resiko isteri seorang anggota Brimob pasti sering ditinggal tugas. Hal ini sudah diketahui karena kebetulan ayahnya juga mantan anggota Brimob.

Ratih Wijaya SH, istri Briptu Mohamad Ramadan ini sudah mengetahui akan keberangkatan suaminya dalam penugasan FPU I pengganti sejak usia kandungannya enam bulan. Bahkan sebelum berangkat tugas untuk FPU I pengganti, suaminya sudah bergabung dalam FPU I bahkan sudah mengikuti pelatihan karena saat itu Ratih sedang hamil anak yang pertama maka suaminya hanya sebagai cadangan dan akhirnya tidak berangkat.

Sedangkan pada FPU I pengganti, kebetulan Ratih juga sedang hamil anak yang kedua. Karena merasa sudah hamil besar maka untuk sementara waktu dia ke mertua sehingga perlu banyak pengawasan. Namun karena pada FPU pengganti ini persiapannya cukup singkat termasuk waktu latihan pra ops, maka menjelang keberangkatan dirinya diminta suami pulang ke rumah agar dapat membantu mencarikan barang untuk keperluan yang dibawa tugas nanti.

Akhirnya dengan perut besarnya dia nekat pergi ke pasar untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan suaminya dengan naik ojeg dan tukang ojeg tersebut juga diminta bantuannya membawa barang-barang yang dibeli. Hal ini dilakukan karena suaminya pada saat itu masih sibuk dengan latihan.

Mengingat semangat suami untuk berangkat tugas, dirinya hanya berpesan kepada suami, “Kalau sudah niat berangkat agar anak isteri jangan dijadikan beban” tuturnya. Terus terang dirinya merelakan suaminya berangkat tugas FPU I pengganti meski sedang hamil besar karena dilihat dari sisi pengalaman tugas mungkin bisa membantu karier meskipun saat melepas suami pergi tugas sudah merasakan mulas hendak melahirkan.

Sebetulnya dengan keberangkatan ini dirinya juga sempat berpikir kalau ditinggal nantinya bagaimana?. Tapi oleh ibunya yang juga seorang isteri pasukan menasehati bahwa kalau pasukan itu hanya dari segi kariernya dia bisa maju,”Jadi apa yang membuat suami maju dalam berkarir harus didukung”, itulah pesannya.


SUMBER :
Majalah teratai
Edisi khusus – 14 Nopember 2009

Akting Ngibul Sarjana Maling


Ketangkap basah menggondol mobil orang, Sahuri berlagak tak waras. Aktingnya lumayanlah, Ngomong-nya melantur, meja penyidik pun ia gedor. Kursi ikut ditendang. Brak! Bruk! Polisi sempat kaget dibuatnya.

Kalau Pak Polisi emosional, mungkin ia sudah kena tinju. Sahuri, 30 tahun, digelandang ke Kepolsian Resor bojonegoro, Jawa Timur, sejak Kamis dua pekan silam. Lajang itu menjadi tersangka nyolong mobil Toyota avanza.

Menurut Polisi, sahuri merupakan anggota komplotan pencuri mobil di wilayah Bojonegoro yang masuk DPO (Daftar Pencarian Orang) Polisi. Nah, saat disidik, mendadak warga Sumberrejo, Bojonegoro, ini berakting bak orang gila. Mula-mula ia ngoceh tak karuan.

Pandangannya berlagak kosong. Ketika penyidik menanyakan materi pemeriksaan, jawaban Sahuri jauh melenceng. Ibaratnya, orang nanya A dijawab Z, gak nyambung.

“Kami Tanya bagaimana caranya mencuri (mobil), eh, dia menjawab, sawah saya mau panen, saya mau pulang,” tutur seorang penyidik. Meski sempat keheranan sekaligus kegelian, petugas tak percaya begitu saja.”Ah, dia pura-pura saja begitu,” celetuk penyidik yang lain.

Sahuri tak putus asa. Bukannya sadar dan malu, tetapi malah memperhebat aktingnya. Tiba-tiba saja tangan dan kakinya menghajar meja-kursi pemeriksaan. Keruan saja, ruang penyidik gaduh.”Gayanya seperti orang gila betulan,” penyidik tadi menambahkan.

Penyidik terhenti sesaat. Dua anggota Polisi berusaha menenangkan tersangka yang gila dadakan ini. Setelah kondisi tenang, pemeriksaan dilanjutkan. Identitas tersangka diperiksa lebih teliti.

Ternyata Sahuri memiliki SIM, KTP dan kartu ikatan alumni sebuah perguruan tinggi swasta di Jawa Timur. Polisi mencecar Sahuri soal kartu identitas tadi. “Kalau gila, mana kau punya kartu ini,” begitu ujar penyidik. Sahuripun terpojok. Berakhirlah akting sintingnya.

Kepada penyidik, Sahuri mengaku tindakannya itu ditirunya dari sikap pejabat yang mendadak sakit ketika menjalani pemeriksaan atas kasus korupsi. Biasanya, pemeriksaannya ditangguhkan, atau penahannya dibantar. Dengan berlagak gila, Sahuri berharap kasusnya bisa dibatalkan sekalian. Owalah.....!

SUMBER :
Majalah Gatra
Oleh Arif Sujatmiko

Langsung Dipromosikan


Pada jaman orde baru, seorang petinggi Polisi merekomendasikan anaknya, Heri, yang sudah lulus sarjana untuk menjadi anggota Polisi. Perwira yang menerima rekomendasi itu kelabakan, karena kualitas Heri ternyata setingkat anak TK. Si perwira pun lalu mengajukan pertanyaan ringan saja, “ Tahukah anda apa nama jabatan pimpinan Polisi di tingkat Kabupaten?” Heri kebingungan menjawabnya. “Jangan kuatir,” Kata si perwira dengan bijaksana, “Besok saja anda dating lagi ke sini dengan jawabannya, ya ….! Jangan lupa salam saya untuk Bapak”.

Malam harinya, ketika Heri sudah menemukan jawabannya, sang ayah menanyakan kabarnya, “Bagaimana ? sudah lulus jadi Polisi?”. “Bukan lulus lagi pak,“ jawab Heri,”Saat ini saya bahkan sedang dipersiapkan jadi seorang Kapolres.”


SUMBER :
Majalah Bhayangkara Polda Jatim
Edisi I Februari 2010

Solusi dari Pak Polisi


Alkisah ada seorang petani mempunyai seorang tetangga yang berprofesi sebagai pemburu dan mempunyai anjing-anjing yang galak dan kurang terlatih. Anjing-anjing itu sering melompati pagar dan mengejar domba-domba petani. Petani itu meminta tetangganya untuk menjaga anjing-anjingnya, tetapi ia tidak mau peduli. Suatu hari anjing-anjing itu melompati pagar dan menyerang beberapa kambing sehingga terluka parah.

Petani itu merasa tak sabar dan memutuskan untuk pergi ke kota untuk berkonsultasi pada seorang Perwira Polisi. Polisi itu mendengarkan cerita petani itu dengan hati-hati dan berkata, “Saya bisa saja menangkap pemburu itu dan memerintahkan dia untuk merantai dan mengurung anjing-anjingnya. Tetapi anda akan kehilangan seorang tetangga yang sebenarnya bisa jadi teman dan mendapatkan seorang musuh. Mana yang kau inginkan, teman atau musuh yang jadi tetanggamu?”

Petani itu menjawab bahwa ia lebih suka mempunyai seorang teman.

Baik, saya akan menawari anda sebuah solusi yang mana anda bisa menjaga domba-domba anda supaya tetap aman dan ini akan membuat tetangga anda tetap sebagai teman” kata Polisi. Mendengar solusi pak Polisi, petani itu setuju.

Ketika sampai di rumah, petani itu segera melaksanakan solusi yang ditawarkan pak Polisi. Dia mengambil tiga domba terbaiknya dan menghadiahkannya kepada tiga anak tetangganya itu, yang mana ia menerima dengan sukacita dan mulai bermain dengan domba-domba tersebut.

Untuk menjaga mainan baru anaknya, si pemburu itu mengkerangkeng semua anjingnya. Sejak saat itu anjing-anjing itu tidak pernah mengganggu domba-domba pak tani, sebagai ucapan terimakasihnya kepada kedermawanan petani kepada anak-anaknya, pemburu itu sering membagi hasil buruan kepada petani. Sebagai balasannya petani mengirimkan daging domba dan keju buatannya. Dalam waktu singkat tetangga itu menjadi teman baik.


SUMBER :
JAGRATARA The Police Magazine Edisi 55
Agustus 2010

Kau Mau Kutilang

Suatu hari, Kosim berangkat dengan mengendarai sepeda motor untuk berburu burung. Di tengah perjalanan Kosim bertemu sama Pak Polisi, kemudian Polisi itu menyuruh Kosim berhenti.
Polisi : ”Mana Sim?”
Kosim : ”Cari burung Pak!”
Polisi : ”Mana Sim?”
Kosim : ”Cari burung, Pak...!!”
Polisi (mulai kesal) : ” Mana Siiim....”
Kosim : ”Cari burung Paak...!”
Polisi (marah) : ”Kau mau kutilang”
Kosim : ”Kalau ada, Perkutut Pak...!!”

Dasar Polisi...!


Alkisah, sebuah keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Berbagai upaya telah dilakukan sang ayah untuk meningkatkan taraf hidup, namun selalu gagal. Doapun selalu dipanjatkan setiap malam namun rezeki belum kunjung datang.

Dalam keputusasaan, akhirnya ia menulis sepucuk surat berisi permohonan agar dirinya diberi rezeki berupa uang sebesar Rp 200 ribu untuk membayar SPP anaknya dan beras bagi keluarganya. Surat itu dimasukkan ke dalam amplop. Pada sampul bagian depan ia tuliskan alamat: kepada Tuhan di langit, kemudian dimasukkan ke kotak surat.

Keesokan hari, tukang pos datang, melihat alamat yang hendak dituju, ia bingung mau dikirim ke mana. Dalam kebingungan tiba-tiba ia bertemu dengan seorang polisi yang sedang berpatroli,” Pak Polisi, saya bingung mengantarkan surat ini. Bisakah bapak bantu?”

Akhirnya Polisi itu membuka surat. Setelah dibaca, ia berkata kepada tukang pos,”Surat ini saya bawa, nanti saya urus dan saya sampaikan kepada pengirimnya.”

Saat tukang pos pergi, sang Polisi membuka dompetnya. ia hanya mendapati uang sejumlah Rp. 150 ribu,”Waduh, Cuma ada Rp. 150 ribu, bagaimana untuk makan siangku nanti...” hatinya membatin. Namun karena ia memang berhati baik, dia pun berniat memberikan seluruh uang yang ada di dompetnya itu kepada si pengirim surat. Dia yakin, si pembuat surat pasti sedang dalam kesusahan yang amat sangat. Seluruh uang ia masukkan ke dalam amplop balasan surat itu. Berikutnya, ia bergegas menuju alamat si pengirim.

Saat tiba pada alamat yang dituju, pintupun dibuka oleh seorang anak. ”Bapak ada?” tanya sang Polisi. ”Bapak sedang shalat dan biasanya dilanjutkan dengan berdoa cukup lama, Pak.” jawab si anak.

”Baik. Karena saya masih ada tugas lain, tolong berikan surat ini kepada bapakmu ya... ” Pak Polisi pun bergegas pergi. Usai sang ayah berdoa, si anak memberikan amplop itu. Betapa terkejutnya ia kala amplop itu dibuka ia dapati uang sebanyak Rp. 150 ribu.

”Halim!....” panggilnya pada si anak, ”Siapa yang mengantar surat ini tadi?”
”Tidak tahu namanya, Yah. Cuma tadi bapak itu ke sini pakai seragam Polisi.”

”Aaahhh... Dasar Polisi! Dasar Polisi!” sang ayah menggerutu, ”Permohonanku kepada Tuhan kan Rp. 200 ribu. Ini, kok Cuma tinggal Rp. 150 ribu? Dasar Polisi, masih suka pungli, bahkan kepada orang yang jelas-jelas susah sepertiku. Dasar Polisi! Dasar Polisi!”

Ada hikmah menarik yang dapat dipetik dari cerita ini. Terkadang citra negatif Polisi yang terlanjur melekat dari jaman dulu memang menjadi tembok yang menghalangi pandangan banyak orang terhadap mereka hari ini. Sehingga kadang orang yang berbuat baik belum tentu dianggap baik oleh yang tidak mengetahuinya.

Percayalah masih banyak Polisi yang baik di negeri ini. Dan semoga ke depan Polisi bisa menunjukkan profesionalitasnya dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan ketertiban masyarakat sehingga masyarakat pun dapat menyampaikan keluh kesah dan kepercayaannya kepada bapak dan ibu yang berprofesi sebagai Polisi.


Sumber :
Majalah Machdum Sakti
Nomor 6 Tahun XIV – Juni 2010

Oleh:Taufik
Peminat Masalah Kepolisian
Tinggal di Banda Aceh

Pengakuan Polisi di Bulan Ramadhan


Bulan Ramadhan bulan penuh pengampunan dan makna kasih sayang. Tak mudah mendapatkan keberkahan di bulan suci ini. Sebuah kesucian hati dikala kita sebulan penuh menjaga hawa nafsu. Begitu yang dilakukan Polisi lalu lintas (Polantas) satu ini. Sebut saja Sersan Suyono.

Baginya menjadi polisi sebenarnya bukan cita-citanya. Namun apa daya, kebutuhan ekonomi keluarga yang akhirnya memilih untuk mengabdi pada negara. Sudah tujuh tahun ia dinas di kepolisian. Sempat ditugaskan berjaga-jaga menangani GAM di Aceh. Kini ia harus bertugas sebagai pengatur lalu lintas (Polantas). Ini pun sekali lagi bukan pilihannya.

Bagi kebanyakan polisi tugas di jalan adalah kerja berjuta suka. Dalam sehari Rp 500 ribu hingga Rp 1.000. 000 dapat masuk dalam kocek celana. Lain hal dengan polisi muda ini. Untuk mengambil uang tilang saja. Suyono harus mengerutkan dahi.

“Kenapa sih, ketika pengguna jalan bersalah selalu menyisipkan uang kepada polisi. Padahal belum tentu kami mau,” aku pria berumur 30 tahun ini. “Hari ini saya baru saja menghadap atasan untuk berharap dapat pindah tugas di bagian lain, tapi jawabnya justru malah cemooh, ”ucapnya. Menghadapi atasan bukan sekali ini saja.“ Ini sudah ketiga kalinya pak, ”ceritanya kembali.

Ironisnya ketika surat tilang terkumpul, seharusnya Ia diberikan reward sebesar Rp 2500, - hingga Rp 10. 000 (tergantung kendaraannya). “Tapi sudah 7 tahun bekerja, saya tidak pernah mendapatkan, ”ucapnya pilu. Suyono merasa terpukul dengan penderitaannya.

Sebagai ganti upaya sampingan ia sendiri selalu mengeluarkan jurus kemahirannya dengan memudahkan jasa pembuatan surat-surat kendaraaan. Sempat ia mendapatkan hasil uang tilang. Namun apa yang terjadi? Ia dan isteri merasa kebingungan. Lantas Ia lari ke sebuah masjid dan menanyakan kepada seorang ustadz. Tapi apa yang terjadi? Ustadz dengan mudah menjawab bahwa uang tersebut boleh diambil asal yang memberi ikhlas. Bapak 3 orang anak ini semakin bingung. Bagaimana yang memberikan uang tersebut terlihat ikhlas?

Seorang Suyono adalah figur Polisi yang taat pada agama. Anda pastinya akan mengatakan semua polisi tak lebih dari uang dan uang. Tapi polisi bertubuh tegap ini selain disiplin tinggi, ia juga sangat mempertimbangkan mana yang hak dan mana yang bathil. Siapapun tak mengira jika pengabdian pada negara digunakan untuk keluarga. Tapi di balik itu semua, ada keniscayaan dibenaknya. Suyono tak lebih dari korban keburukan citra polisi. Ia tidak hanya di gaji kurang dari 1, 5 juta (bruto) perbulan.

Dalam urusan asuransi kesehatan saja, kata Suyuno yang saat itu bertugas di Jakarta, instituisi pemerintahan/kedinasan (Polri) ternyata tidak memprioritaskan karyawannya. Bahkan rumah dinas yang ditempatinya dihargai Rp 15 juta oleh seniornya. “Jadi setiap anggota yang menempati rumah tersebut jika dijual selalu berlipat-lipat harganya, ”jelasnya. Dan Suyonopun harus berjibaku membayar dengan memotong gaji Rp 500 tiap bulannya.

Kini upaya Suyono terakhir, tetap bersikeras untuk pindah dari jabatan Polantas, pahitnya ia harus keluar dari Polri. Tapi untuk urusan keluar, nyatanya sangat sulit, karena terbentur dengan intervensi para atasan.

Di penghujung cerita ia memberitahu lahan-lahan empuk Polantas untuk mencari nafkah yang tidak halal di Jakarta. “Bapak lihat di sana ada berapa petugas yang mengatur lalu lintas. Padahal di sini bukan lokasi tempat mereka bertugas. “Bagi mereka Ramadhan bulan penuh berkah untuk mencari uang lebaran, ”tandasnya penuh arti. Sambil bersalaman, ia bergegas pergi. “Maaf pak, saya akan bertugas kembali”.

Mudah-mudahan, polisi-polisi lain seperti Pak Suyono ini cukup banyak, sehingga citra polisi yang masih saja terpuruk di mata masyarakat bisa meningkat postif. Mudah-mudahan Ramadhan kali ini membawa kebaikan bagi mereka. Amien.

Sumber : EraMuslim
Oleh : Abumiftah
30 September 2007

“Pekerjaanku mencintaiku lebih dulu daripada kamu”


“Pekerjaanku mencintaiku lebih dulu daripada kamu”, itulah kata-kata yang terpaksa Eddy ucapkan kepada pacarnya ketika tugas memanggilnya. Briptu Edy adalah seorang anggota Polri yang berdinas di Direktorat Reskrim.

Suatu ketika dia dan pacarnya sedang asyik nonton film di bioskop. Namun, di tengah kegembiraan mereka, hp berbunyi dan mengharuskan Eddy segera ke kantor. Jarang-jarang mereka bisa sempat jalan berdua di tegah kesibukan tugas, kali inipun di harus ditinggal pergi lagi, tentu saja di relung hatinya yang terdalam ada sedikit rasa tidak rela. Pacarnyapun membujuk Eddy agar jangan pergi dulu untuk menyelesaikan film dan mengantarkannya pulang.

Namun, mau bagaimana lagi. Tugas sudah memanggil, apalagi Eddy bertugas di Buser dimana harus selalu berurusan dengan penjahat. Penjahat dalam melakukan aksinya mana ada kata menunggu, menanti Polisi tiba. Kalau bisa mereka setelah melancarkan aksinya segera pergi jauh. Maka Polisi harus berlomba dengan waktu, mengejar tiap kejadian.

Dikala pacarnya membujuk agar menunda pergi, diapun tidak bisa. “Kau harus paham, pacarmu ini adalah seorang Polisi sewaktu-waktu bisa saja dipanggil tugas. Seandainya saja pacarmu ini adalah tukang jahit maka akan selalu duduk di meja dan berada di sisimu”. Akhirnya diapun merelakan kekasihnya pergi melaksanakan tugas dan dia harus pulang dengan ojek. Begitulah keadaannya, menjadi pacar atau istri seorang Polisi harus bisa mengerti keadaan seorang Polisi dan siap di tinggal tugas.

Nurani Bhayangkara Sejati

Sadarkah aku......
Bahwa aku ada karena amanah rakyat
Sadarkah aku.....
gajiku, seragamku, tunjanganku, peralatanku,
itu semua dari rakyat

Sadarkah aku.....
yang rakyat butuhkan hanyalah perlindungan dan
Pengayoman atas keberadaanku,
bukan kegagahanku semata

Sadarkah aku.....
Bahwa mengemban amanah itu tidaklah mudah.....
harus didasari rasa syukur, ikhlas dan tulus

dan Sadarkah aku diantara perbaikan menuju citra
yang lebih baik dan mulia

"Semoga yang membaca buku ini mendapatkan
hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa"


Pengantar dari buku Nurani Bhayangkara Sejati
Kumpulan Mutiara Hati Insan Bhayangkara

Polisi yang Berhati Nurani



Polisi..... Ya..... Aku seorang Polisi
Sadar aku ada karena masyarakat
Masyarakat membutuhkan pelayananku
Aku memang tak ada arti tanpa mereka

Kucurahkan segenap akal budiku
untuk kebahagiaan masyarakat
kemanan, keselamatan orang lain
adalah hakekat pelayananku
Kemanusiaan adalah ranah tugasku

Kujalani pekerjaanku penuh liku

Suka duka menjadi bagian pengabdianku
Kewenanganku adalah amanah masyarakat
Kupertanggung jawabkan.....
Secara hukum dan moral.....

Kejujuran, kebenaran dan kemanusiaan
dalam pekerjaanku adalah kebanggaanku
dan pekerjaankum kucintai seumur hidupku
Penuh syukur perlahan kulalui dari waktu ke waktu

Citra yang mewujudkan kebaradaanku
Aku tahu banyak kekuranganku
Belum sempurna memang
Tetapi ak selalu berupaya

Drs. Djoko Susilo SH. M.Si

Sapu itu bernama Polisi

Sapu berguna untuk menyapu, membersihkan dan membuang kotoran maupun sampah. Segala bekerjaan kotor menggunakan sapu untuk membersihkan. Di lantai, di dinding maupun di langit-langit.

Seandainya sapu tersebut adalah manusia akankah dia menjerit, akankah dia berteriak. Bisa ya, bisa juga tidak kalau dia menyadari bahwa itulah tugas dan tanggung jawabnya. Untungnya sapu bukanlah manusia, jadi sapu tidak bisa berbicara.

Kalo kita renungkan lagi dalam setiap negara ada organisasi yang berperan sebagai sapu di masyarakat. Sapu tersebut lebih dikenal dengan nama Polisi. Polisilah yang bertugas mengurai gelapnya kasus kejahatan. Polisi dituntut mampu menyibak belantara kejahatan di masyarakat.

Polisi merupakan “pekerjaan kasar”, mereka harus banyak berada di lapangan, di rimba belantara dunia hitam. Tidak mengherankan jika ada pendapat yang menjuluki Polisi sebagai penegak hukum jalanan Bitter pakar hukum dari AS menilai pekerjaan Polisi sebagai the dirty job or a tainted occupation (pekerjaan kotor atau jabatan penuh cela).

Inilah Polisi, sapu di masyarakat, melaksanakan pekerjaan kotor untuk ketentraman masyarakat. Namun, meskipun melaksanakan pekerjaan yang mulia, tapi terkadang tidak pernah lepas dari hinaan dan celaan dari masyarakat itu sendiri.

Seram.......!

Kisah yang menyeramkan ini terjadi Kamis malam lalu (malam Jumat), menimpa seorang perwira berpangkat Komisaris besar (Kombes) Polisi di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta.

Pada hari itu, Kombes X bekerja lembur menangani kasus Bank Century yang sedang heboh-hebohnya, sehingga terpaksa ia pulang larut sekitar pukul 2 dinihari. Sesampainya ia di depan lift, Kombes X menekan tombol untuk turun. Kemudian, pintu lift terbuka tanpa ada siapa-siapa di dalamnya. Dia masuk dan memencet tombo “G” guna menuju ke lantai dasar atau ground floor. Tetapi entah mengapa, lift yang dia naiki itu tidak turun ke bawah, malah terus saja naik ke atas.

Ketika sampai di tingkat 30, lift berhenti. Pintu lift terbuka. Kemudian masuklah seorang perempuan yang sangat cantik, menawan, menebar senyum manis. Kombes X belum pernah melihat wanita ini sebelumnya meski sudah bertugas di bagian reserse dan criminal hamper tujuh tahun. Perempuan tadi masuk dan berdiri di belakangnya.

Otak reserse sang kombes pun bermain. Dia bertanya-tanya di dalam hati tentang siapa perempuan itu, dan mengapa pula hingga lewat tengah malam belum pulang ke rumah. Ong Julianakah dia yang kini sedang dicari-cari terkait kasus Anggodo? Kombes X lebih memilih diam. Si perempuan pun seperti itu. Tak sedikit pun suara keluar dari bibirnya yang dilapisi lipstik merah menyala.

Dalam suasana hening begitu, tiba-tiba lift meluncur turun dengan kecepatan yang tak biasa. Terus meluncur dari satu tingkat ke satu tingkat berikutnya secara cepat.

Tiba di tingkat 13 lampu lift padam dan lift terhenti. Seketika Kombes X mencium bau teramat busuk. Bulu romanya merinding. Dia pun mulai membaca ayat-ayat suci yang terlintas diingatan sambil memberanikan diri dan perlahan menoleh ke belakang.

Pada saat itu lampu lift tiba-tiba menyala kembali. Perempuan yang berada di belakangnya tertawa, lalu dengan suara nyaris berbisik dia bersuara: ”Maaf ya Mas, saya kentut...”


Majalah Machdum Sakti
Nomor 7 Tahun XII / November 2009

Pilot Si Capung Besi


Murah senyum adalah kesan pertama yang tertangkap di awal perjumpaan dengan Fodha Anggara. Pilot capung besi berpangkat Iptu ini mempunyai dua sertifikat pilot yaitu pesawat tetap dan helicopter. Pria kelahiran April 1977 ini masih terhitung sebagai anggota Polisi Udara Mabes Polri. Ia tengah berada di Serambi Mekkah untuk menjalankan tugasnya selama dua bulan terhitung sejak bulan Mei 2009. Alumni pendidikan Perwira Polisi Sumber Sarjana (PPSS) tahun 2003 ini sudah dua kali pertugas di Polda NAD kira-kira setahun yang lalu ia juga bertugas di Serambi Mekah ini.

Selama bertugas sebagai pilot, sulung dari tiga bersaudara ini telah berkunjung ke banyak daerah kejadian menegangkan pernah ia alami pada saat harus menerbangkan helikopter dalam kondisi float (kaki helicopter) kurang pressure (tekanan) dari Gorontalo menuju Ternate melintasi lautan. Dalam penerbangan sipil, jika berada dalam kondisi seperti itu helikopter tidak diijinkan melakukan penerbangan. Karena float berfungsi untuk pendaratan darurat di air / laut. Dan jika float kurang tekanan kemudian helikopter berada dalam kondisi darurat pilot hanya memiliki waktu beberapa detik untuk menyelamatkan diri dari pesawat. Iptu Fodha berharap tidak menghadapi lagi kondisi yang cukup menaikkan hormon adrenalin.

Selama bertugas harus jauh dari keluarga? Hal itu sudah pasti. Dibalik senyuman yang menghias bibirnya ada hasrat yang besar untuk bertemu dengan anak dan istrinya yang tengah mengandung anak kedua mereka.
Demi tugas ia harus menunda rencananya untuk mengantarkan sang isteri memeriksakan kehamilannya hingga masa dinasnya berakhir nanti.

Pengalaman menarik dan tak terlupakan adalah setelah pernikahannya yang digelar pada tanggal 20 Desermber 2004. Tepat lima belas hari setelah pernikahnnya dilangsungkan, ia harus mengakhiri masa bulan madunya karena bencana tsunami di Serambi Mekkah. Kejadian itu mengharuskannya ke pangkalan udara di Pondok Cabe untuk memastikan agar barang-barang bantuan dapat terkirim ke tempat tujuan.

“Bagi saya menjadi pilot itu harus tanggap, cepat, tepat, serta rapi”, Ucapnya mengakhiri perbincangan.


SUMBER :
Reporter Ribut
Fotografer khairul, hasbi.
Majalah Machdum Sakti
Nomor 2 Tahun XII Juni 2009.

Ditilang Polisi, dan Polisi itu temanku…!!!


Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati jono berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Priiiiittt……….!!!!!!!!
Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.

Hey, itu kan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jono agak lega, ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya. “Hai Bob, senang sekali ketemu kamu lagi!”

“Hai Jon.” Tampa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”

“Oh ya?” Jawab Bobi.
Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”

“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.” Ooooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.

“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah, Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo dong Jon, kami melihatnya dengan jelas.Tolong keluarkan SIM-mu.”

Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit.

Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini, ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.

“Halo Jono, tahukah kamu Jon, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Bobi)”.

Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun, Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan….!!!

Tak selamanya perngertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati. Drive Safely Guys…!!!!


SUMBER :
Majalah Jagratara
Edisi XLVII Juni 2009

Mathilda Batlayeri Teladan Bhayangkari

Sejarah Bhayangkari Polda Kalimantan Selatan tidak dapat lepas dari kisah heroik Mathilda Batlayeri. Seorang istri Polisi yang gugur bersama ketiga anaknya dalam mempertahankan pos/asrama Polisi Kurau, Kabupaten Tanah Laut (dahulu Kewedanaan Tanah Laut).

Pada tahun 1950-an di Kalimantan Selatan terjadi pemberontakan yang menamakan gerakannya sebagai Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT). Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) KRyT senantiasa melakukan teror dan penyerangan kepada kampung-kampung yang dilaluinya. Tak jarang terjadi penghadangan dan penyerangan terhadap patroli-patroli tentara dan Polisi dengan tujuan merebut senjata sebanyak-banyaknya. Bahkan GPK KRyT tak segan untuk menyerang pos dan asrama militer/polisi.

Pada Rabu, 28 September 1953, dini hari, gerombolan KRyT menyerangan pos/asrama Polisi Kurau yang termasuk wilayah terdepan, mengingat wilayah Kurau merupakan Basis pertahanan GPK KRyT. Dalam penyerangan tersebut, kekuatan GPK KRyT mencapai 50 orang yang dipimpin Suwardi. Mereka bersenjata api yang terbilang modern pada saat itu dan beberapa memakai senjata tajam.

Serangan mendadak di ambang fajar tersebut hanya dihadapi oleh lima orang anggota Polisi bersenjata dan seorang Bhayangkari menggunakan senjata jenis moser milik suaminya. Bhayangkari tersebut adalah Mathilda Batlayeri, yang melibatkan diri dalam pertempuran dikarenakan melihat kekuatan anggota Polisi yang tidak berimbang dalam pertempuran tersebut.

Suami mathilda Batlayeri, AP II (Agen Polisi II) Adrianus Batlayeri, saat pertempuran terjadi sedang mengambil air di sumur, namun karena posisinya yang tidak memungkinkan untuk kembali ke Pos/Asrama, maka Adrianus tidak dapat terlibat dalam pertempuran.

Dalam pertempuran tersebut, GPK KRyT mengalami kesulitan untuk melumpuhkan kekuatan Pos/Asrama Polisi Kurau. Bahkan Suwardi, pemimpin penyerangan, yang konon memiliki ilmu kebal, tertembak oleh Mathilda Batlayeri. Namun, tetap saja pertempuran tidak seimbang. Satu persatu kusuma bangsa berguguran, termasuk ketiga anak dari Mathilda Batlayeri.

Anak Mathilda yang tewas yaitu Alex (9 thn) & lodewijk (6 thn) yang tewas di kamar asrama Polisi, yang mereka tempati dan Max (2,5 thn) tewas di pelukan ibunya. Melihat ketiga anaknya telah tewas, membuat semangat tempur Mathilda Batlayeri, seorang Bhayangkari semakin berkobar, akan tetapi setelah bertempur kurang lebih satu setengah jam, akhirnya Mathilda Batlayeri gugur sebagai kusuma bangsa bersama janin yang sedang dikandungnya. Setelah tidak ada perlawanan lagi dari pihak Polisi, maka GPK KRyT membumihanguskan Pos/Asrama Polisi Kurau. Jenazah Mathilda dan ketiga anaknya turut terbakar dalam kobaran api tersebut.

Semangat juang dan pengabdian yang tiada terkira Mathilda Batlayeri menjadi hal yang patut dihormati dan dikenang. Untuk jasa-jasanya tersebut, atas perintah Kadapol XIII Kaltengsel brigjend Pol. Drs. Moch. Sanusi (Mantan Kapolri periode 1987-1991), pada 13 Agustus 1983 dibangun “Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda batlayeri” di Kurau dan selesai di kerjakan pada 15 Oktober 1983. Kemudian bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 1983, monument tersebut diresmikan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Bhayangkari Ny. Anton Soedjarwo (isteri Kapolri Jenderal Polisi Anton Soedjarwo, periode 1982-1987).

Pada bagian depan Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda Batlayeri terukir tulisan yang berbunyi, “KEPADA PENERUSKU, AKU BHAYANGKARI DAN ANAK-ANAKKU TERKAPAR DI SINI, DI BUMI KURAU YANG SUNYI, SEMOGA PAHATAN PENGABDIANKU MEMBERI ARTI PADA IBU PERTIWI”.




(Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda Batlayeri)

SUMBER :
Buku Waja Sampai Kaputing
Profil Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan

Harga Sebuah Pengabdian

Seorang Jenderal di Kepolisian memanggil tiga anggotanya yang dianggap berjasa sepulang bertugas dari Poso, “Karena ini bukan situasi perang, saya tidak bisa menganugerahkan kalian medali. Namun tetap ada hadiah buat kalian,” Kata sang Jenderal.

Ia berkata lagi,”Yang harus kalian lakukan hanya menentukan dua titik di tubuh kalian, lantas saya akan memberikan Rp 100 ribu untuk tiap sentinya. Kita mulai dari kamu.”

Andrian : “Dari ujung rambut sampai ujung kaki, Pak.”
Jenderal : “Hebat, 175 senti. Kamu saya beri Rp 17,5 juta. Lumayan untuk sewa rumah.”

Anton : “Dari ujung jempol kiri ke ujung jempol jari kanan, Pak!”
Jenderal : “Luar biasa, 180 senti. Total Rp 18 juta. Cukup untuk membuka warung kelontong!”

Reynold: “Dari pundak ke telunjuk, Jenderal.”
Jenderal : “Hmmm….. Aneh, tapi oke.”

Pada saat sang Jenderal mulai mengukur, “Mana kelingkingmu Nak?”
Reynold : “Di Poso, Pak”